
Dalam beberapa tahun terakhir, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia menghadapi dinamika yang semakin kompleks, terutama dalam bidang administrasi dan tata kelola. Meningkatnya tuntutan akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi menuntut sekolah untuk mampu mengelola data, proses, dan dokumen secara lebih modern dan terstruktur. Namun, di banyak sekolah, sistem administrasi masih berjalan secara manual, terpisah-pisah, dan sangat bergantung pada kemampuan individu guru atau operator. Kondisi ini membuat pengelolaan sekolah menjadi memakan waktu dan rentan terhadap kesalahan.
Di sisi lain, peran SMK sebagai lembaga yang menyiapkan tenaga kerja siap industri juga membutuhkan tata kelola yang jauh lebih profesional dibanding sekolah umum. Proses seperti penyusunan kurikulum berbasis industri, teaching factory, manajemen PKL, hingga pengelolaan Bursa Kerja Khusus (BKK) menambah beban administrasi yang tidak sedikit. Ketidakterpaduan sistem sering membuat data siswa dan lulusan sulit dilacak, monitoring PKL tidak optimal, serta kerja sama industri tidak terdokumentasi dengan baik. Akibatnya, kualitas layanan pendidikan kejuruan menjadi kurang maksimal.
Selain itu, kebutuhan untuk menghasilkan keputusan berbasis data (data-driven decision making) semakin mendesak, seiring meningkatnya persaingan antar sekolah dan tuntutan dunia usaha. Sayangnya, banyak pimpinan sekolah masih kesulitan memperoleh laporan real-time karena keterbatasan dashboard, dokumentasi, dan integrasi data. Ditambah dengan keterbatasan SDM yang belum sepenuhnya siap menghadapi digitalisasi, tantangan administrasi dan tata kelola SMK menjadi semakin menonjol. Semua faktor ini menegaskan pentingnya transformasi digital yang menyeluruh agar SMK dapat lebih adaptif, efektif, dan relevan dengan kebutuhan zaman.
Berikut ini adalah point-ponit besar yang menjadi persoalan dan tantangan yg ada disekolah saat ini.
1. Pengelolaan Data yang Masih Terfragmentasi
- Data siswa, guru, sarpras, keuangan, kurikulum, dan Bursa Kerja Khusus (BKK) berjauhan serta tidak terintegrasi.
- Proses input berulang dan rawan kesalahan.
- Tidak adanya “single source of truth”.
2. Beban Administrasi Guru yang Tinggi
- Guru harus membuat: perangkat ajar, jurnal, penilaian, pelaporan proyek PKL, BKK, serta data Dapodik.
- Waktu mengajar berkurang karena banyaknya dokumen administratif.
3. Sistem Dokumentasi yang Lemah
- Dokumen penting (SK, RKS/RKAS, rapor, SOP, instruksi kerja, sertifikat siswa, MoU mitra industri) masih disimpan manual.
- Risiko hilang, rusak, atau sulit dicari.
4. Pelaporan dan Akuntabilitas Keuangan Belum Optimal
- RKAS masih banyak dibuat manual dan tidak real-time.
- Sulit melacak pengeluaran, bukti transaksi, serta kesesuaian BOS/Reguler/Komite.
- Proses audit memakan waktu.
5. Manajemen Kurikulum & Teaching Factory Kurang Terdigitalisasi
- Perencanaan pembelajaran, jadwal, penggunaan ruangan/mesin, serta pencatatan job sheet praktik belum terkelola baik.
- Kesulitan menyesuaikan dengan Kurikulum Merdeka dan kebutuhan industri.
6. Monitoring PKL Masih Lemah
- Kesulitan memonitor siswa di industri:
- absensi,
- penilaian mentor industri,
- progres proyek,
- kendala harian.
- Laporan PKL sering terlambat.
7. Integrasi BKK & Penelusuran Alumni Belum Maksimal
- Banyak BKK belum memiliki sistem:
- database alumni,
- lowongan kerja,
- relasi industri,
- statistik lulusan.
- Tracking lulusan (tersalurkan atau tidak) sulit dilakukan.
8. Layanan Persuratan dan Pelayanan Publik Manual
- Surat menyurat, legalisasi, rekomendasi, dan permohonan orang tua masih lewat kertas.
- Tidak ada sistem antrean atau tracking layanan.
9. Kurangnya Data untuk Pengambilan Keputusan (Data-Driven School)
- Pimpinan sekolah sulit mendapatkan dashboard real-time:
- kehadiran siswa,
- tren prestasi,
- pemanfaatan sarpras,
- progres proyek sekolah.
- Keputusan masih berbasis asumsi.
10. Komunikasi Internal yang Tidak Terpusat
- Informasi tersebar di WhatsApp, grup kelas, kertas, dan pengumuman manual.
- Sering terjadi miskomunikasi dan informasi tidak sampai.
11. Kesiapan SDM dalam Pengelolaan Sistem Digital
- Tidak semua guru/operator melek teknologi.
- Banyak aplikasi pemerintah terpisah (Dapodik, eRKAS, ARKAS, eRaport, SIMPKB), memerlukan adaptasi tinggi.
12. Keamanan Data dan Akses Sistem Belum Terstandar
- Pengamanan akun, backup rutin, serta akses role-based belum diterapkan.
- Risiko data bocor atau hilang.
13. Pelibatan Industri & Dunia Usaha Belum Terstruktur
- Proses MoU/PKS, pemetaan kebutuhan kompetensi industri, dan update kurikulum belum terdigitalisasi.
- Sulit melacak riwayat kerja sama industri.









